Cirebon, korankabarnusantara.co.id – Di era modern ini, perempuan dihadapkan pada tantangan yang semakin kompleks. Salah satu tantangan terbesar adalah kebutuhan ekonomi yang kian mencekik. Harga-harga barang yang terus melonjak memaksa banyak keluarga untuk mencari sumber penghasilan tambahan. Di sinilah peran perempuan dalam keluarga sering kali menjadi krusial.
Ketika gaji suami tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, perempuan dituntut untuk bekerja demi menjaga kelangsungan hidup keluarga. Namun, tuntutan ini sering kali berbenturan dengan peran tradisional perempuan sebagai istri dan ibu yang diharapkan mengurus rumah tangga dan anak-anak.
Tidak hanya masalah ekonomi, banyak keluarga juga menghadapi persoalan kafaah atau ketidakcocokan antara pasangan suami istri yang sering kali terabaikan sejak awal pernikahan. Ketika sekufu (kesetaraan) diabaikan, konflik dalam rumah tangga menjadi lebih mudah terjadi, dari yang kecil hingga yang menyangkut prinsip hidup. Terlebih lagi, jika konflik ini melibatkan kekerasan fisik, perempuan berada dalam posisi yang sangat rentan. Tugas-tugas rumah tangga yang tak ada habisnya, ditambah dengan konflik psikis, hanya akan memperburuk kesejahteraan perempuan dalam keluarga.
Masalah ini tidak hanya terbatas pada lingkup individu atau keluarga. Fenomena peran ganda perempuan ini, meski terkesan “tersembunyi” seperti gunung es, sebetulnya sudah menjadi masalah besar di Indonesia. Sayangnya, belum ada upaya konkret dari pemerintah maupun kesadaran kolektif masyarakat untuk memperbaiki situasi ini.
Dalam banyak kasus, perempuan terjebak dalam dilema yang membuat perannya serba salah. Di satu sisi, mereka diharapkan memenuhi fitrahnya sebagai pengasuh dan pelindung keluarga. Di sisi lain, realita ekonomi memaksa mereka untuk mengambil peran sebagai pencari nafkah.
Pengaruh media sosial juga tidak bisa diabaikan. Masifnya konten yang dikonsumsi oleh perempuan, baik yang bersifat positif maupun negatif, turut mempengaruhi pola pikir mereka terkait urusan keluarga, rumah tangga, dan peran perempuan.
Media sosial dapat membentuk persepsi baru yang kadang justru memperbesar beban mental yang harus mereka pikul. Di satu sisi, ada ajakan untuk menjadi perempuan mandiri dan sukses di luar rumah, namun di sisi lain, tuntutan untuk tetap menjalankan peran domestik tetap ada.
Perdebatan mengenai perempuan bekerja seakan tidak pernah menemui titik akhir. Setiap keluarga memiliki kebijakan masing-masing terkait hal ini, tergantung pada keadaan dan prioritas yang mereka pegang. Namun, yang jelas, perempuan yang bekerja sering kali berhadapan dengan kelelahan fisik dan mental. Kelelahan ini tentu akan berdampak pada peran mereka di rumah.
Meski beberapa pekerjaan mungkin memungkinkan perempuan tetap maksimal dalam menjalankan tugas rumah tangga, sebagian besar dari mereka harus menghadapi kenyataan bahwa lelahnya bekerja di luar rumah akan mempengaruhi kualitas kehidupan keluarga.
Masalah ini semakin diperparah oleh adanya gap antara nilai-nilai budaya tradisional Indonesia dan paham modern yang banyak dianut oleh sebagian masyarakat. Perempuan yang terpengaruh oleh budaya modern liberal dari barat cenderung memiliki prioritas yang berbeda dalam menjalankan perannya di keluarga.
Paham ini sering kali menggeser fokus mereka dari peran tradisional, yang memicu konflik dalam rumah tangga. Namun, meskipun dunia modern menuntut perempuan untuk beradaptasi dengan berbagai tuntutan, saya percaya bahwa masih ada cara untuk menegosiasikan peran perempuan dalam keluarga dan kebutuhan mereka di era modern ini.
Perempuan memang berada di tengah pergeseran besar antara tradisi dan modernitas. Namun, penting bagi kita semua, baik masyarakat maupun pemerintah, untuk menciptakan ruang yang mendukung perempuan menjalankan peran mereka dengan seimbang dan manusiawi. (Nisrina Maitsa Zakiyyah STISHK Kuningan)