Kuningan, korankabarnusantara.co.id – Perubahan peran perempuan dalam keluarga memang sudah menjadi diskusi panjang dalam berbagai konteks, dari sisi budaya hingga ekonomi. Jika peran ini berubah ke arah positif dan membawa dampak baik pada perempuan, terutama dalam memberdayakan potensi mereka, tentu hal tersebut patut disambut baik.
Selama perubahan itu tidak melanggar batas fitrah perempuan dan tidak mengganggu kestabilan rumah tangga, maka pemberdayaan ini bisa memberikan banyak manfaat. Perempuan yang lebih kuat dan mandiri akan mampu mendukung keluarga dengan lebih baik, baik secara emosional maupun finansial.
Dalam konteks ini, perempuan memang terbukti sangat mampu melakukan banyak tugas sekaligus (multitasking) dan mandiri dalam menghadapi berbagai tantangan. Peran perempuan yang bisa mengurus rumah, anak, dan dalam beberapa kasus juga bekerja, menunjukkan betapa fleksibelnya mereka.
Namun, di tengah pemberdayaan ini, ada juga tantangan yang muncul. Perempuan yang terlalu terbebani dengan banyaknya tugas bisa kehilangan keseimbangan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kestabilan rumah tangga.
Media sosial juga memainkan peran penting dalam perubahan ini. Media sosial tidak hanya menjadi alat informasi, tapi juga normalisasi berbagai hal yang sebelumnya dianggap tidak lazim. Dengan konten yang masif dan terus-menerus, media sosial dapat dengan mudah memengaruhi persepsi perempuan tentang peran mereka dalam keluarga.
Baik itu positif maupun negatif, media sosial dapat menggeser cara pandang perempuan terhadap kehidupan rumah tangga, yang kadang memunculkan standar baru yang tak selalu sejalan dengan realita dan nilai budaya yang ada.
Dalam hal pekerjaan, perempuan yang bekerja sering kali dihadapkan pada tantangan untuk tetap menjalankan peran sebagai “madrasah pertama” di keluarga. Meski bekerja tidak selalu menjadi hambatan, ada situasi di mana peran ini tidak bisa dijalankan dengan maksimal karena waktu dan energi yang terbagi.
Di sinilah pentingnya komunikasi antara suami dan istri, sebagai “kepala sekolah” dan “guru” dalam rumah tangga, untuk menemukan keseimbangan yang pas. Dengan komunikasi yang baik, perempuan dapat tetap berkontribusi dalam pekerjaan tanpa mengorbankan peran pentingnya dalam keluarga.
Konflik antara budaya tradisional dan kebutuhan perempuan modern dalam keluarga juga tidak bisa diabaikan. Perempuan modern sering kali merasa ditarik ke dua arah yang berbeda: di satu sisi mereka ingin memenuhi peran tradisional, namun di sisi lain mereka juga harus memenuhi tuntutan dunia modern yang semakin kompleks. Benturan antara dua nilai ini sering kali menciptakan konflik, baik di dalam diri perempuan maupun dalam keluarga itu sendiri.
Kesimpulannya, perubahan peran perempuan dalam keluarga memang sangat dinamis. Namun, selama perubahan tersebut tetap berada dalam batasan yang sesuai dengan fitrah perempuan dan tidak mengorbankan keseimbangan dalam rumah tangga, perubahan itu bisa membawa dampak positif bagi keluarga dan masyarakat.
(Gineng Putri Dermawan STISHK Kuningan)