Jakarta, korankabarnusantara.co.id – Fakta bahwa berbagai perubahan yang sangat dinamis kini tengah berlangsung dalam kehidupan kita, baik kehidupan bernegara, bermasyarakat maupun berorganisasi terutama dalam konteks pengelolaan pencak silat sebagai warisan budaya Fakta lain bahwa selama ini peran serta negara dalam pembinaan atau pengayoman kelembagaan pencak silat maupun pencak silat itu sendiri sesungguhnya tidak jelas, acapkali digeneralisasi dengan istilah tidak optimal.
Ironis dan paradoks Undang Undang berbasis kebudayaan (tradisional) terutama Undang Undang Pemajuan Kebudayaan No.5 Tahun 2017, secara implisit menuntut suatu harapan bagi upaya pemajuan pencak silat yang berkualitas, kompetitif dan terbuka, serta mampu memberikan kontribusi manusia yang berkarakter
Pencak silat dlm arus perubahan, urgensinya dgn pengakuan “Traditions Of Pencak Silat” atau Tradisi Pencak Silat For Humanity sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Dunia (2019), oleh karena unesco melihat adanya praktek di masyarakat yang bisa berkontribusi terhadap kemanusiaan.
Pencak silat adalah salah satu warisan budaya terpilih (selected) menyumbang pada perdamaian, stabilitas, pembangunan dan kemanusiaan. Pencak silat mempresentasikan nilai nilai universal, seperti persahabatan, persaudaraan, sikap saling menghormati dan mempromosikan kohesi sosial, oleh karena itu pencak silat dapat diadopsi dan berkembang tidak hanya di wilayah nusantara, tapi juga di belahan dunia lainnya
Pengakuan Unesco itu sendiri pencak silat telah menjadi identitas dan pemersatu bangsa. Namun, setelah 5 tahun lebih tanpa aksi program yang nyata, hingga saat ini negara belum melegimitasi pencak silat sebagai produk budaya bangsa yang “strategis”. Momentum untuk memposisikan pencak silat dari budaya marginal menjadi budaya “mainstream” atau budaya utama, meraih ekspektasi sebagai identitas bangsa, membumi dari lokal ke global dan dapat dipertandingkan secara resmi sebagai cabor di multi event olimpiade.
Bandingkan pula dengan Malaysia yang mendapatkan penilaian “Silat” nya dari Unesco hanya sebagai beladiri saja. Pengakuan prestise itu telah mendapatkan apresiasi dengan memasukan/menerbitkannya dlm lembar negara, selain gencarnya upaya aksi program promosi dan diplomasi budaya silatnya tersebut. Sementara itu, Indonesia yg mendapatkan “Tradisi Pencak Silat” yang merupakan paket komplit dan terpilih, pencak silat bukan hanya soal beladiri, melainkan dinilai memiliki seluruh elemen yang membentuk warisan budaya tak benda, seperti filosofi, spritualism (ritual), adat istiadat, ekspresi budaya (festival) dan kerajinan tradisional.
Namun paket komplit penilaian itu tdk menjamin negara akan memberikan apresiasi atau partisipasinya, termasuk dari induk organisasi dan stake holder lainnya yang terkait dgn tata kelola pencak silat. Tanpa hrs “ojo dibandingke”, realitas pembinaan atau pengayoman bidang promosi dan diplomasi budaya pencak silat, Indonesia sebagai “kiblatnya” justru tertinggal, terkesan diabaikan, seperti ada bau aroma pembiaran, relasinya dengan negara masih bersifat temporer, faktanya memang belum optimal.
Lantas, siapa yang bertanggung jawab, regulasi unesco sewaktu waktu akan mencabut atau menarik kembali pengakuan tersebut, karena Indonesia dinilai tidak melaksanakan mandat tanggung jawab keberlanjutan pelestarian pencak silat “sustainability”.
Kesataraan pembinaan melalui dukungan APBN, seperti halnya yang didapat bidang pramuka dan kepemudaan, berharap adanya pencerahan dan kondisivitas keberlangsungan atau keberlanjutan pencak silat. Jauh sebelum terbitnya Undang Undang Kepemudaan No. 40 Tahun 2009 , dan Undang Undang Pramuka No. 12 Tahun 2010, gerakan pramuka dan kepemudaan di era Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto berkembang sangat pesat, identik dengan simbol kepeloporan dan kemajuan dari gerakan tersebut.
Pun, di era Presiden Soeharto, pencak silat sempat meraih masa “emas”, selain berkibarnya prestasi pencak silat, pengembangan organisasi, peningkatan kualitas bidang teknis, seperti pelatih, wasit- juri, dukungan sarana/prasarana, bidang promosi dan diplomasi (event) tidak hanya di dlm negeri, tetapi juga di forum internasional, serta peran strategisnya Indonesia sebagai inisiator PERSILAT (Persekutuan Pencak Silat Antara bangsa). Sayangnya “kebijakan” itu tidak berlanjut karena sifatnya yang temporer, semestinya saat itu induk organisasi (IPSI) mendorongnya sebagai bentuk “political will” pemerintah/ negara dengan menetapkan pencak silat sebagai bidang strategis yang diampu oleh APBN. Namun, demikian Padepokan Pencak Silat Indonesia (PnPSI), TMII, Jakarta Timur, akan tetap dikenang sebagai monumen pengabdian pencak silat.
Ekspektasi meng “APBN” kan pencak silat tentu tak semudah membalikan tangan, apalagi hanya mengandalkan semangat saja tidak cukup, harus ada upaya kerja yang komprehensif dan sistematis, karena hal itu berkaitan dengan keputusan atau kebijakan negara yang harus dipertanggung jawabkan.
Representasi UU Pemajuan Kebudayaan, No. 5 Th. 2017, UU Hak Cipta, No. 28, Th. 2014 dan UU Keolahragaan, No. 11 Th. 2022, termasuk diakuinya “Tradisi Pencak Silat” oleh Unesco (2019), apakah mampu meyakinkan kalangan legislator di senayan sana, terutama Anggota DPR RI dari Komisi III dan Komisi X yang membidangi substansi terkait, berharap proses legislasi itu negara/eksekutif akan lebih berperan secara optimal dalam upaya pemajuan pencak silat.
Pamungkas dari seluruh upaya untuk meningkatkan citra pencak silat sebagai bidang strategis, tiada lain adalah dukungan utama yang mendorong adanya kemauan politik “political will” dari seorang Presiden. Oleh krn itu, momentum terpilihnya Prabowo Subianto sbg Presiden RI di kontestasi pilpres 2024, akan menjadi “oasis” secercah harapan bagi pencak silat yang membumi dan mengglobal, serta dapat dipertandingkan secara resmi di olimpiade. Tentu saja, ini kesempatan yang prestise krn saat ini Prabowo Subianto masih menjabat Ketua Umum PB.
IPSI dan Presiden PERSILAT, tidak diragukan kapasitas dan jati dirinya sebagai seorang pesilat atau pendekar sejati yang berkiprah sejak muda mencurahkan perhatian dan dedikasinya untuk membesarkan pencak silat dan IPSI. Meski demikian peluang tersebut harus tetap ditempuh dan di perjuangkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau paling tidak untuk menjemput perubahan menuju pemajuan pencak silat, kiranya perlu dibentuk Kelompok Kerja (POKJA) dengan tugas menyiapkan naskah akademisi, termasuk Rencana Strategis (RENSTRA). Apakah rancangan tersebut sudah dipersiapkan?.
Kesempatan itu tak datang dua kali “opportunity does not come twice”, oleh karenanya memposisikan pencak silat sebagai bidang strategis, seperti halnya bidang pramuka dan kepemudaan hrs diwujudkan, tanpa ragu atau tanpa aksi apapun untuk meraih yang terbaik, menggapai mimpi menjadi kenyataan.
Pilihan retrospeksi atau perenungan adalah kesadaran yang dibangun untuk melakukan perubahan maupun perbaikan atas kesalahan yang berkutat “struggling” dengan permasalahan internal organisasi atau kelembagaan (non teknis) maupun pencak silat itu sendiri (teknis) yang berimbas terdegradasinya (penurunan) kualitas dan citra tata kelola pencak silat yang selama ini tidak berada di tempat yang seharusnya. Pencak silat telah kehilangan keutuhan jati dirinya sebagai sistem nilai (value system) budaya (tradisi) khas Indonesia, termasuk adanya fakta dikotomis pembinaan antara pencak silat tradisi dengan pencak silat prestasi (olahraga).
Pencak silat dalam arus perubahan sepakat dengan kata kunci, yaitu upaya perbaikan (restrukturisasi) dlm konteks pewarisan, pelestarian, pengembangan dan pemanfaatan pencak silat . Kemudian dalam konteks ancang ke depan adalah upaya langkah langkah strategis menghadapi masa depan dengan kualitas kinerja yang mendorong rancang bangun penyusunan program teknis maupun non teknis secara lebih masif, terstruktur dan sistematis (komprehensif).
Selamat atas terpilihnya Prabowo Subianto sbg Presiden RI dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden. Selamat Milad juga untuk IPSI yang ke-76, berharap pencak silat tetap meraih masa depannya yang gilang gemilang. Semoga.
(Wahdat MY, Pegiat Pencak Silat)